Headlines

Sejarah Daulah Abbasiyah

Penulis: Savana Lugina, Rifqi Setiawan

Awal Terbentuk

Pada awal terbentuknya masa Dinasti Abbasiyah dinamai setelah Al-Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim, paman Nabi Muhammad SAW, yang dianggap lebih berhak atas kekhalifahan dibanding Umayyah karena keterkaitan nasab mereka yang lebih dekat dengan Nabi. Pendiri Dinasti Abbasiyah adalah Abdullah Al-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas, dikenal sebagai Abu Al Abbas Al-Saffah. Berkuasa dari tahun 132-656 H/750-1258 M, keluarga Abbasiyah memimpin kekhalifahan selama lima abad dengan pusat pemerintahan di Baghdad.Sepanjang kekuasaan dinasti abbasiyah pola pemerintahan yang dipakai selalu berbeda menyesuaikan dengan perubahan politik,sosial dan budaya.   Para sejarawan biasanya membagi masa kekuasaan dinasti abbasiyah menjadi lima periode.

  1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M)
  2. Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M)
  3. Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M)
  4. Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M)
  5. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M).

  Pada awal kepemimpinannya, Abu Al-Abbas menggunakan julukan “as-saffih” yang menandakan kekuatan dan keberanian dalam kebijakan politiknya, bahkan menunjukkan sikap keras dengan menggelar eksekusi di sisi singgasana. Proses pembentukan kekhalifahan Abbasiyah melibatkan strategi revolusioner yang cermat, melalui kedaulatan bawah tanah, propaganda rahasia tentang hak kekhalifahan, dan pemanfaatan kaum muslim non-Arab, serta upaya propaganda terbuka yang dipimpin oleh Abu Muslim Al-Khurassani, dengan penggunaan tiga pusat kegiatan politik, yaitu Humaimah, Kufah, dan Khurasan, yang secara diam-diam digunakan oleh keluarga Abbas untuk membangun fondasi Bani Abbasiyah.

            Sebelum berdirinya Abbasiyah, terdapat tiga tempat yang merupakan pusat kegiatan politik, yaitu Humaimah, Kufah, dan Khurasan. Ketiga tempat itu digunakan keluarga Abbas secara sembunyi-sembunyi untuk membangun cikal bakal Bani Abbasiyah.

  1. Humaimah merupakan tempat yang tentram. Bani Hasyim bermukim di kota itu, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung Abbas.
  2. Kufah adalah wilayah yang penduduknya menganut Syiah yang selalu ditindaskan oleh Bani Umayyah.
  3. Khurasan merupakan wilayah yang penduduknya tidak mudah terpengaruh oleh kepercayaan yang ada dakwah   menyimpang.

            di Bani Abbasiyah mendapat dukungan Pemimpin Bani Hasyim, Al-Imam Muhammad bin Ali, merupakan tokoh kunci dalam berdirinya Bani Abbasiyah, dengan strategi perjuangan untuk menegakkan kekuasaan atas nama Rasulullah SAW. Dengan dua belas pengikutnya yang memimpin seratus lima puluh orang, Abbasiyah melaksanakan upaya ini secara rahasia. Namun, Imam Ibrahim tertangkap oleh pasukan Umayyah, dipenjarakan, dan dieksekusi, mewariskan kepemimpinan kepada adiknya, Abu Al-Abbas, yang memindahkan pusat kekuasaan ke Kufah. Sementara itu, Abu Salamah memimpin upaya penegakan kekuasaan, menaklukkan Umayyah di Kufah. Abdullah bin Ali, paman Abu Al-Abbas, mengejar Khalifah Marwan bin Muhammad, mengalahkan pasukannya di sungai Zab, dan mengusirnya hingga ke Damaskus, sehingga Bani Umayyah tumbang dan Bani Abbasiyah berdiri dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.

Kejayaan

Masa kejayaan Dinasti abbasiyah hanya berlangsung sekitar satu abad atau hanya di periode pertama saja. Kemajuan Dinasti abbasiyah ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pendidikan Islam. Perkembangan yang pesat ini didukung oleh adanya lembaga-lembaga yang mewadahi perkembangan tersebut. Pada masa itu didirikan lembaga-lembaga keilmuan sebagai pusat pembelajaran ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pendidikan Islam. Pada masa Bani Abbasiyah adalah masa puncak kejayaan untuk negara-negara Islam serta tercapainya peradaban yang gemilang. Masa puncak kejayaan Bani Abbasiyah ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid dan putranya AlMaksum. Bani Abbasiyah terjadi kemunduran serta kehancuran pada saat penyerangan bangsa Mongol muncul yang diketuai oleh Halagu Khan pada tahun 1258 H. Pada saat itu bangsa Mongol tidak menghancurkan kota Baghdad saja namun, mereka juga menghancurkan

peradaban Islam yang sudah maju dan jaya. Peristiwa ini berakhirnya Bani Abbasiyah (Islam, 2020: 138-139).

Bani Abbasiyah didirikan oleh keturunan paman Rasulullah, Abdullah al-Suffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah al-Abbas. Dinasti Abbasiyah terbagi menjadi empat periode yang berbeda, dengan pola pemerintahan yang sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya pada masa tersebut. Dinasti Abbasiyah mencapai puncak keemasan, sering disebut sebagai masa keemasan atau “the golden age”, serta mengalami masa kemunduran. Masa keemasan ini ditandai dengan kemajuan besar dalam ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pendidikan Islam, sedangkan masa kemunduran diwarnai oleh konflik internal dan serangan dari luar.

Masa Kejayaan Peradaban Bani Abbasiyah ditandai oleh perkembangan politik, kemakmuran masyarakat, serta kemajuan dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan Islam. Pada periode awal pemerintahan Bani Abbasiyah, kekuasaan politik dan agama berpusat pada khalifah yang kuat. Ini menghasilkan stabilitas politik yang memungkinkan masyarakat mencapai tingkat kemakmuran tertinggi. Selama masa ini, fokus utama pemerintahan Abbasiyah adalah pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam, bukan hanya pada perluasan wilayah. Hal ini merupakan perbedaan mendasar dengan dinasti sebelumnya, yaitu Umayyah. Dengan menekankan pengembangan peradaban, Abbasiyah menciptakan landasan yang kuat bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Peradaban dan kebudayaan Islam berkembang pesat selama masa kejayaan Bani Abbasiyah. Hal ini mencakup berbagai bidang seperti seni, arsitektur, sastra, dan ilmu pengetahuan. Para cendekiawan Muslim pada masa ini membuat kontribusi signifikan dalam bidang matematika, astronomi, kedokteran, dan filosofi, yang memengaruhi perkembangan selanjutnya dalam sejarah ilmu pengetahuan. Kejayaan peradaban Abbasiyah tidak hanya terbatas pada bidang intelektual, tetapi juga mencakup aspek-aspek sosial dan ekonomi. Masyarakat menikmati kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan perdagangan dan pertanian yang berkembang pesat serta kemajuan dalam sistem infrastruktur dan teknologi. Secara keseluruhan, masa kejayaan peradaban Bani Abbasiyah merupakan periode yang penting dalam sejarah Islam, yang menandai puncak kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Keberhasilan

Abbasiyah dalam mengembangkan peradaban dan kebudayaan Islam telah meninggalkan warisan yang berpengaruh dalam sejarah dunia.

Pada masa “The Golden Age” Dinasti Abbasiyah Peradaban dan kebudayaan Islam mencapai puncak kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah karena dinasti ini lebih fokus pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Abad keemasan dimulai dengan bangkitnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 132 H/750 M, yang menandai lima abad perkembangan Islam. Dinasti Abbasiyah tidak terlalu tertarik pada penaklukan wilayah seperti Dinasti Umayyah sebelumnya, melainkan lebih memprioritaskan pengetahuan dan masalah dalam negeri. Mereka giat melakukan penerjemahan dan menyerap ilmu dari peradaban lain sebagai bagian dari upaya besar dalam memajukan peradaban Islam.

Abad X Masehi dikenal sebagai periode pembangunan Daulah Islamiyah, di mana dunia Islam, dari Kordoba di Spanyol hingga Multan di Pakistan, mengalami kemajuan signifikan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Dunia Islam pada masa tersebut mencapai puncak kemakmuran dan kejayaan, sementara dunia Barat masih tertinggal dan primitif. Kehadiran agama Islam yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW mendorong perkembangan kebudayaan Islam. Dinasti Abbasiyah menjadi pionir dalam berbagai bidang, menghasilkan kemajuan yang luar biasa dalam peradaban Islam.

Kondisi Keagamaan

Pada masa Daulah Bani Umayyah, ilmu pengetahuan agama telah mengalami perkembangan. Namun, pada masa Dinasti Abbasiyah, terjadi kemajuan yang luar biasa dalam bidang ini. Dinasti Abbasiyah menjadi tempat lahirnya ulama-ulama besar dan karya-karya agung dalam ilmu agama, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Ini mencerminkan peran penting dinasti tersebut dalam memajukan keilmuan dan pemahaman agama dalam masyarakat Islam.Masa kekuasaan Daulah Umayyah dianggap sebagai periode di mana benih-benih kebudayaan ditanam yang kemudian berkembang subur pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada

masa Daulah Umayyah, pengetahuan yang berkembang lebih fokus pada ilmu-ilmu keagamaan (naqliyah), seperti ilmu qiro’ati, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam, dan ilmu fiqih, juga mencakup ilmu bahasa, ilmu tasawuf, serta ilmu arsitektur. Ini menunjukkan fondasi penting yang diletakkan oleh Daulah Umayyah dalam pengembangan keilmuan dan kebudayaan, yang kemudian melahirkan kemajuan yang lebih besar di bawah Dinasti Abbasiyah.

Kondisi Politik

Kondisi sosial politik selama masa Dinasti Abbasiyah menunjukkan perubahan signifikan dalam pengakuan terhadap kelompok mawali, yang menjadi pembeda utama dengan masa Dinasti Umayyah. Pada era Umayyah, mawali, atau non-Arab yang masuk Islam, diperlakukan secara diskriminatif dan menempati posisi rendah dalam hierarki sosial. Mereka dianggap sebagai kelas dua di bawah orang-orang Arab keturunan, dengan ruang gerak yang terbatas. Namun, pada masa Abbasiyah, pemerintah tidak membedakan mawali dalam urusan politik dan negara. Meskipun demikian, mereka tetap dikenakan pajak yang sama dengan non-muslim, sehingga menjadikan mawali sederajat dengan non-muslim dalam hal kewajiban pajak. Dalam struktur sosial tersebut, mawali diberi peran penting dalam bidang perekonomian, industri, dan ilmu pengetahuan, yang mencerminkan perubahan signifikan dalam perlakuan terhadap kelompok non-Arab Muslim. Diskriminasi terhadap kaum mawali pada masa Dinasti Umayyah dapat disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, adalah fanatisme yang dimiliki oleh orang Arab terhadap suku mereka sendiri. Fanatisme ini mendorong mereka untuk membangun bangsa yang maju dan berpengaruh, sehingga bisa bersaing dengan dua kekuatan besar dunia saat itu, yaitu Romawi dan Persia. Kedua, adanya usaha untuk mencegah masuknya keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib ke dalam kepemimpinan. Hal ini disebabkan oleh pernikahan Husain dengan seorang putri pembesar Persia. Jika keturunan Husain berhasil menduduki posisi khalifah, maka pengaruh Persia dalam dinasti tersebut akan meningkat secara signifikan, yang berpotensi mengurangi peran bangsa Arab. Oleh karena itu, secara

otomatis, kelompok Syi’ah menjadi sangat dibenci oleh Dinasti Umayyah karena dianggap dapat mengancam kedudukan dan pengaruh mereka.

Berbeda dengan Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah justru menunjukkan penghormatan dan perlakuan manusiawi terhadap kelompok mawali. Mereka dihargai karena kontribusi mereka dalam menggulingkan Dinasti Umayyah dan membangun Dinasti Abbasiyah. Kelompok mawali juga diakui memiliki potensi besar, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa Abbasiyah, kelompok mawali memberikan sumbangan yang signifikan bagi perkembangan intelektual Islam. Dinasti Abbasiyah mengalami empat periode pemerintahan yang berbeda. Pada periode pertama, pemerintahan sangat independen dan kuat, dengan pusat pemerintahan berada di Baghdad yang menjadi pusat peradaban maju. Namun, pada periode kedua hingga keempat, Dinasti Abbasiyah mulai terpengaruh oleh kelompok lain. Periode kedua ditandai dengan pengaruh militer Turki yang mendominasi pemerintahan, sementara periode ketiga ditandai dengan pengaruh Dinasti Buwaihi dari Persia yang bermadzhab Syi’ah. Buwaihi memiliki motif untuk mengganti Dinasti Abbasiyah yang bermadzhab Sunni menjadi bermadzhab Syi’ah, yang tercermin dalam upaya mereka untuk mengambil alih kekuasaan politik.

Pada awal hegemoninya, Dinasti Buwaihi memulai pembunuhan terhadap Khalifah al-Mustakfi dengan dua motif utama, yaitu motif politik dan agama. Motif agama terutama dipicu oleh penangkapan salah satu pemuka Syi’ah yang memiliki pengaruh dalam penerbitan fatwa-fatwa keagamaan di Baghdad oleh Khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan dalam konteks konflik agama yang melibatkan kedua kelompok tersebut.  Penulis berasumsi bahwa Khalifah pertama yang mengalami masa transisi dari dominasi militer Turki ke dominasi Dinasti Buwaihi menyadari kemungkinan adanya upaya pengambilalihan identitas aliran di dalam Dinasti Abbasiyah di masa mendatang. Menurut Hitti dalam “History of the Arabs”, Dinasti Buwaihi mulai memperkuat budaya dan tradisi Syi’ah di Baghdad, contohnya dengan merayakan berkabung atas kematian Husain bin Ali pada 10 Muharram dan memperingati pengangkatan Ali sebagai khalifah penerus Rasulullah di Ghadir Khumm. Sistem pemerintahan yang diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah diterima baik oleh masyarakat Muslim dan non-Muslim karena memiliki kemiripan dengan keyakinan sebelumnya. Perbedaan sikap politik terlihat antara Dinasti Abbasiyah dan Bani Umayyah,

dimana dalam Dinasti Abbasiyah, kekuasaan lebih merata dan tidak hanya terpusat pada bangsa Arab. Sistem ini lebih demokratis dengan pembagian kekuasaan yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat, termasuk bangsa Persia, Turki, dan lainnya. Hal ini mencerminkan inklusivitas Dinasti Abbasiyah dalam menangani kekuasaan dan memperlihatkan komitmen terhadap partisipasi masyarakat yang lebih luas.

Strategi ini penting karena mengakui keberagaman latar belakang suku dan ras masyarakat, yang berdampak pada perubahan pola pikir dari simbolik menjadi berwawasan ukhuwah islamiyah. Hal ini membantu Dinasti Abbasiyah menjadi maju dan mencapai masa keemasan, karena memperkuat rasa persatuan dan kesatuan di antara masyarakat yang beragam, serta menekankan pada nilai-nilai solidaritas dan persaudaraan dalam Islam.

Kondisi Ekonomi

Kemajuan ekonomi dinasti abbasiyah di pelopori oleh Khalifah Al-mansur yang mana meletakkan dasar-dasar aministrasi perekonomian yang baik. Selain itu kekayaan Dinasti Abbasiyah yang melipah karena pemasukan kas negara lebih besar dari pada perbelanjaan negara. Dalam membangun perekonomian negara menjadi penyokong utama dalam kegiatan perekonomian dengan tetap menjadi kebebasan para pelaku usaha. Selain itu Al-Mansur juga menggunkan jawatan pos sebagai pengawas dan juga pelapor harga pasar berbagai komoditas.

Ada beberapa sektor yang menjadi penopang ekonomi pada Dinasti Abbasiyah yaitu sektor pertanian, perdagangan, dan industri. Sektor pertanian menjadi perhatian utama pada Dinasti Abbasiyah tidak seperti pada Dinasti Umayyah yang mana para petani di tindas dan diberi pajak yang tinggi, Al-Mansur justru membangun kembali sawah-sawah yang hancur oleh perang dan membangun sistem irigasi di seluruh negeri sehingga membentuk satu jaringan yang luar biasa pada zamannya. Faktor lain yang membuat sektor pertanian menjadi perhatian utama Dinasti Abbasiyah karena ibu kota pemerintahan yang di pindah ke baghdad yang merupakan daerah subur untuk pertanian. Di antara hasil pertanian yang menjadi komoditas utama di daerah tersebut adalah gandum, kapas, wijen, padi, kurma dan rami. Selanjutnya ada sektor perdagangan yang berkembang pesat di zaman Abbasiyah hal ini terjadi karena pemerintah saat itu melakukan penataan ekonomi yang rapi untuk mempermudah aktivitas perdagangan Masyarakat sekaligus menjadikan Baghdad sebagai

pusat ekonomi. Salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah untuk memajukan ekonomi mereka adalah dengan membuat jawatan- jawatan pos yang mengatur harga pasar, membangun sumur- sumur untuk para khafilah dagang, membangun armada perdagangan sekaligus armada perang yang melindungi pantai dari serangan bajak laut, dan membangun hubungan bilateral dengan negara lain. Dari usaha tersebut Baghdad sukses mejadi pusat perdagangan dunia ditambah urbanisasi yang tinggi dikota Baghdad akibat berkembangnya industri di Dinasti Abbasiyah.

Sektor industri di Dinasti Abbasiyah tumbuh dengan pesat akibat dari perdagangan antar negara seperti Dinasti Tang di Cina yang juga berada pada masa kejayaannya. Bukan hanya itu hadirnya produk industri dari daerah lain seperti linen dari Mesir, sutra dari Syiria dan kertas dari Samarkand turut memicu pertumbuhan industri di Dinasti Abbasiyah. Ada beberapa produk industri yang berkembang di Baghdad yaitu berupa tekstil, gelas, dan keramik begitu juga di Basra merupakan pusat industri sabun dan juga gelas.

Kondisi Sosial

Pada zaman kekuasaan Dinasti Abbasiyah kelas sosial atau stratafikasi merupakan hal yang umum sebab sudah ada sejak zaman pra Islam. Kelas sosial pada zaman Abbasiyah berbeda dengan zaman sebelumnya karena pada kekuasaan Abbasiyah tidak ada perbedaan rasa ataupun suku akan tetapi kelas sosial terbentuk berdasarkan kemapuan, keterampilan atau profesi seseorang. Pada masa Abbasiyah kelas sosial dibagi menjadi beberapa kelas yaitu aristokrat, umum, menengah, dan bawah. Kelas aristokrat merupakan kelas tertinggi karena hanya terdiri dari kalangan khalifah, keluarga khalifah, keluarga bangsawan dari Bani Quraisy, tentara, dan pejabat tinggi negara seperti wazir, gubernur, panglima, dan staf negara. Walaupun menjadi kelas sosial dengan kasta tertinggi tidak hanya orang Arab saja yang berada pada kelas sosial tersebut namun bangsa non-Arab juga bisa berada pada kelas ini seperti bangsa Persia dan bangsa Turki. Hal ini terjadi karena para penguasa Dinasti Abbasiyah tidak membedakan orang Arab dengan non-Arab sehingga banyak orang non-Arab yang menjabat di pemerintahan terutama di bidang administrasi negara.

Kelas sosial berikutnya adalah kelas umum yang berada tepat di bawah kelas aristokrat. Pada kelas ini biasanya terdiri dari para ulama, ilmuwan, sastrawan, pedagang, dan pejabat dibawah gubernur. Hal yang wajar apabila kelas ini berada setelah kelas aristokrat karena peradaban pada Dinasti Abbasiyah disebut sebagai golden age peradaban umat Islam serta budaya keilmuwan yang sangat dihormati oleh para khalifah dan juga masyarakat di Dinasti Abbasiyah. Kemudian kelas menengah yang merupakan para petani, penggembala, pekerja kasar serta penduduk asli yang berstatus dzimmi. Kemudian kelas terakhir yaitu kelas bawah yang terdiri dari para budak yang dimiliki oleh kalangan kelas atas.

Adanya kelas sosial merupakan hal yang wajar pada zaman dahulu akan tetapi pada Dinasti Abbasiyah kelas sosial bisa dicapai siapa saja bahkan kelas aristokrat juga bisa dicapai oleh rakyat biasa. Hal ini terjadi karena pada Dinasti Abbasiyah cenderung lebih dinamis dengan asas kemampuan sehingga memungkinkan seseorang untuk pindah kelas yang ke lebih tinggi. Faktor lain yang mendasari orang non-Arab atau rakyat biasa bisa menduduki kelas aristokrat adalah dirubahnya sistem arabisasi menjadi islamisasi sehingga tidak ada diskriminasi antar ras atau suku serta keterbukaan pemerintah menjadi faktor utama kelas aristokrat dicapai oleh orang yang sebelumnya berada dikasta lebih rendah.

Masa kemunduran

Masa kemunduran Dinasti Abbasiyah dimulai pada masa kepemimpinan Khalifah Al-Amin atau periode kedua Daulah abbasiyah (232 H/847 M – 334 H/945 M) sampai periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M). Menurut William Montgomery Watt, ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran Islam pada masa Abbasiyah, yaitu luasnya wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, ketergantungan dengan tentara bayaran, dan kemerosotan ekonomi. Sedangkan menurut Badri Yatim, penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah meliputi dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal

1.Faktor Internal

Menurut badri yatim masa kemunduran daulah abbasiyah disebut sebagai masa disintegrasi yang mana kekuasaan khalifah berada ditangan para wazir serta gejolak politik yang tidak bisa ditangani oleh khalifah. Hal ini terjadi sebab peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai pada periode pertama mendorong para penguasa setelahnya untuk

hidup mewah dan boros serta keinginan para penguasa untuk hidup lebih mewah disbanding penguasa sebelumnya. Selain itu lemahnya khalifah dalam memimpin kekuasaan membuat jalan pemerintahan terganggu dan massyarakat menjadi miskin. Hal ini memberikan peluang terhadap tentara turki yang diangkat oleh khalifah untuk mengambil alih pemerintahan dari kekuasaan khalifah, sedangkan khalifah hanya sebatas kekuasaan yang tidak bisa menjalankan pemerintahan.

Pengaruh bangsa lain di pemerintahan bukan hanya dari bangsa turki saja akan tetapi bangsa persia, bangsa buwaih dan bangsa seljuk. Seperti pada periode ketiga daulah abbasiyah yang di pengaruhi oleh bangsa buwaih dan periode ke empat  oleh bangsa seljuk. Pada periode  ke lima daulah abbasiyah sudah terbebas dari pengaruh bangsa lain akan tetapi pada periode ini kekuasaan abbasiyah hanya efektif di sekitar baghdad saja akibat banyaknya daerah yang memerdekakan diri dari dari daulah dan abbasiyah.

2.Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang menjadi pemicu mundurnya dinasti abbasiyah adalah luasnya kekuasaan Dinasti Abbsiyah yang mana pemerintah saat itu tidak mampu mempertahankan kekuasaannya yang berada jauh di barat maupun di timur.  Contoh daerah yang memisahkan diri menjadi daerah otonom adalah Afrika Utara, di sana banyak daerah yang tercerai-berai menjadi daerah otonomi walaupun masih mengakui Abbasiyah sebagai pusat kekuasaan Islam. Hal ini bisa dilihat dari mata uang mereka yang masih menuliskan nama sultan yang berkuasa di Abbasiyah, mengirim upeti ke baitul mal, serta mendoakan para khalifah pada saat khutbah. Selain itu jauhnya umat Islam saat itu dengan ajaran agama menjadi salah satu faktor mundurnya Dinasti Abbasiyah sebab banyak terjadi pembunuhan antar umat Islam. Bukan hanya pembunuhan konflik agama juga turut memperpanas keadaaan sosial masyarakat saat itu sehingga pembunuhan sering terjadi.

Faktor eksternal lainnya yaitu terjadinya perang salib yang banyak memakan korban disebabkan Dinasti Abbasiyah tidak bisa fokus dengan perang salib akibat tercerai-berainya daerah kekuasaan mereka. Setelah perang salib serangan bangsa Mongol ke Abbasiyah juga menjadi penyebab utama hancurnnya Dinasti Abbasiyah serta peradaban Islam. Serangan bangsa Mongol ke Abbasiyah benar-benar menghancurkan Dinasti Abbasiyah sebab bangsa Mongol membumi hanguskan kerajaan tersebut mulai dari menghancurkan masjid, sekolah, rumah, dan membakar buku-buku yang ada di perpustakaan. Bukan hanya itu saja bangsa Mongol juga membunuh seluruh penduduk di Baghdad bahkan anak kecil dan ibu hamil pun juga turut dibunuh, begitu juga dengan para pejabat tinggi negara dan juga khalifah al-musta’sim juga turut dibunuh oleh bangsa Mongol. Terbunuhnya Khalifah al-Musta’sim di tangan bangsa-bangsa Mongol menandakan berakhirnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah pada tahun 656 H/1258 M. Kehancuran Dinasti Abbasiyah juga menyebabkan hancurnya peradaban Islam sebab setelah Dinasti Abbasiyah telah runtuh budaya keilmuan umat Islam juga mengalami degradasi. Sehingga peradaban umat Islam tertinggal oleh orang-orang Eropa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *